Setiap orang, pasti mendambakan anak, istri, suami yang
berkepribadian mengagumkan. Mendapat kesuksesan dunia: fasilitas hidup nyaman,
rumah yang luas, kendaraan yang bagus, harta yang banyak, status social yang
tinggi, disenangi kawan, disegani lawan, dan lain-lain. Juga sukses akhirat:
memperoleh ridha Allah, dibebaskan dari siksa neraka dan masuk ke dalam surga
dengan sejahtera.
Namun, sangat disayangkan, banyak orang dengan dalih ingin
meraih keberhasilan dan mengangkat derajat keluarga seseorang pergi ke
tempat-tempat yang jauh dengan menelantarkan keluarganya. Mengerjakan aktivitas
yang tak berkaitan dengan tujuan yang dicita-citakan, selain isapan jempol dan
permainan angan. Mereka mungkin lupa bahwa sesungguhnya rahasia kesuksesan itu
ada di tengah-tengah keluarga.
Banyak orang dengan dalih ingin mengangkat derajat
keluarga pergi ke tempat-tempat jauh dengan menelantarkan keluarganya. Mereka
mungkin lupa bahwa sesungguhnya rahasia kesuksesan itu ada di tengah-tengah
keluarga.
Untuk itu, setiap suami dan istri, semestinya memberikan
perhatian yang tinggi terhadap keluarga; Menggali sebab-sebab yang mempengaruhi
kemampuan keluarga menghadiahkan kesuksesan yang kepada semua anggotanya;
mengasah ketajamannya; serta memupuk kesuburannya.
1.
Orientasi
Tidak semua orang mempunyai orientasi yang sama dalam
membangun keluarganya. Ada yang mendasarinya dengan orientasi duniawi: kesenangan,
kekayaan, kekuasaan, keturunan dan kecantikan/ketampanan. Ada pula yang
melandasi dengan orientasi ukhrawi. Yang pertama tidak akan mendapat bagian
apa-apa di akhirat. Sementara yang kedua, akan merengkuh kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Allah SWT menerangkan, “Barang siapa yang mengharapkan
kehidupan dunia dan perhiasannya maka Kami akan penuhi keinginan mereka dengan
membalas amal itu di dunia untuk mereka dan mereka di dunia tidak akan
dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak meraih apa-apa ketika di
akhirat melainkan siksa neraka dan lenyaplah semua amal yang mereka perbuat
selama di dunia dan sia-sialah segala amal usaha mereka” (Qs. Hud 15-16)
Keluarga dengan orientasi ukhrawi adalah keluarga yang
terdiri dari pribadi-pribadi yang tidak menautkan tujuan di dalam hatinya
selain kepada surga dan ridha Allah. Dimulai sejak akan menikah; ketika memilih
pasangan, pada saat melangsungkan pernikahan hingga setelah terbentuk sebuah
rumah tangga; berperan sebagai suami, istri dan orang tua. Sehingga, segala
bentuk pemikiran, kata maupun perbuatannya adalah wujud dari harapan yang besar
akan perjumpaan dengan Allah.
Keluarga dengan orientasi ukhrawi adalah keluarga yang
terdiri dari pribadi-pribadi yang tidak menautkan tujuan di dalam hatinya
selain kepada surga dan Ridha Allah SWT.
Kekhusyukan dalam hal ini menjadi teramat urgen. Karena
hanya dengan hati yang khusyuk sajalah seseorang dapat menjaga keistiqamahan
dalam berorientasi. Bahkan dalam kondisi-kondisi ketika dihantam musibah yang
mengguncangkan jiwa sekali pun, orang yang khusyuk senantiasa tetap sadar bahwa
orientasi hidupnya hanyalah Allah SWT.
Firman Allah, “Yaitu, orang-orang yang apabila ditimpa
musibah ia mengucapkan: ‘inna lillahi wa innaa ilaihi roojiuun.” (Qs.
Al-Baqarah156).
Lalu, bagaimanakah jika kesadaran untuk menjadikan Allah
sebagai orientasi dalam berkeluarga itu muncul setelah berkeluarga? Mulailah
sekarang juga untuk memperbaikinya. Mengikhlaskan apa saja yang telah berlalu,
dan berharap kepada Allah terhadap setiap hal yang diusahakan untuk keluarga
anda.
2.
Cinta
Allah telah mengabarkan kepada kita, bahwa cinta tertinggi
setiap mukmin adalah kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya. Setelah itu,
baru cinta kepada orang tua, suami, istri, anak, saudara seiman dan lain-lain.
Firman Allah, “Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum kerabat, harta benda yang kalian miliki, dan
perniagaan yang kalian khawatiri kerugiannya, itu lebih kalian cintai dari pada
Allah, Rasul dan berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim” (Qs. At-Taubah 24).
Untuk menghadirkan cinta tertinggi di lubuk sanubari,
setiap pasangan suami-istri harus berusaha menjaga perasaan cinta di dalam diri
dan keluarganya. Mampu menjaga ikatan cinta di antara mereka dan tahu hal-hal
yang dapat kian menumbuhsuburkan perasaan cinta di dalam hatinya. Karena
kekuatan cinta suami istri turut berperan dalam mengokohkan cinta kepada Allah
SWT.
Setiap pasangan suami-istri harus berusaha menjaga
perasaan cinta di dalam diri dan keluarganya, karena kekuatan cinta suami istri
turut berperan dalam mengokohkan cinta kepada Allah SWT.
Seorang mantan aktris yang kini aktif di dunia parenting islami
mengungkapkan apa yang menurutnya dapat menyuburkan cinta suami kepada istri
dan sebaliknya, “Setiap suami akan merasakan cinta kepada istrinya kian menguat
bukan karena kelihaian syahwat, melainkan karena kelapangan hati istri dalam
menerima nafkah dan rezeki, kepandaian menjaga harga diri suami dengan
pergaulan yang suci dan baik –terutama dalam pergaulan dengan lawan jenis– dan
karena keterampilan serta kesabarannya dalam mendidik dan mengasuh buah hati
mereka.”
Sungguh, amat besar pahala yang dijanjikan kepada istri
yang ikhlas dalam mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Dalam sebuah riwayat
Rasul SAW bersabda: “Siapa di antara kalian yang ikhlas tinggal di rumah untuk
mengurus anak-anak dan melayani segala urusan suaminya, maka ia akan memperoleh
pahala yang kadarnya sama dengan pahala para mujahidin yang berjuang di jalan
Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Sementara istri,” lanjutnya, “bertambah kuat cintanya
kepada suami bukan karena jumlah uang belanja yang tak ada batasan atau
pemberian hadiah permata, baju, sepatu, berlian, zamrud, dan emas tidak
berputusan dan berkeliling dunia kapan saja bisa. Tidak! Banyak ratu-ratu
menjalin cinta dengan lelaki biasa bukan karena pemberian dan jaminan raga,
melainkan karena kelembutan hati dan ketertimangan diri.”
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebutkan ada tiga faktor yang
menyebabkan tumbuhnya cinta:
1.
Sifat/kelebihan yang dimiliki oleh seseorang
sehingga ia kagum dan jatuh cinta padanya,
2.
Perhatian sang kekasih terhadap sifat-sifat
tersebut, dan
3.
Pertautan antara seseorang yang sedang jatuh
cinta dengan orang yang dicintainya.
Di atas semua itu, keshalihan dan kedekatan dengan Sang
Maha Dekat, akan membuat daya “magnet” seorang suami/istri bertambah kuat.
Karena keshalihan dan kedekatan kepada sang Khaliq akan mengundang cinta-Nya.
Dan manakala Allah telah mencintai kita, maka akan mencintai kita pula segenap
makhluk dengan ijin-Nya.
Cinta seorang istri kepada suaminya, atau suami kepada
istrinya, bukan lagi semata karena ikatan perkawinan. Karena cinta yang tidak
dibangun di atas pondasi mahabatullah, hanya akan menjerumuskan ke dasar jurang
kelalaian dan kenistaan.
Cinta seorang istri kepada suaminya, atau suami kepada
istrinya, bukan lagi semata karena ikatan perkawinan. Namun, ada dan tidaknya
hal-hal yang menjadi sebab datangnya cinta Allah sebagai alasan. Sehingga,
kadar cinta suami/istri akan bertambah dan berkurang, seiring meningkat dan
menurunnya kualitas ibadah dan keimanan pasangannya. Keduanya senantiasa
menyadari, bahwa cinta yang tidak dibangun di atas pondasi mahabatullah, hanya
akan menjerumuskan ke dasar jurang kelalaian dan kenistaan.
3.
Nafkah
Meski bukan segalanya, nafkah berupa materi tetap menjadi
sesuatu yang tidak bisa diremehkan begitu saja. Dalam sebuah penelitian
disertasi doktoral, Jan Andersen menemukan 70% responden mengakui bahwa
keuangan merupakan penyebab perceraian. Karena keluarga tak mungkin bisa
berjalan tanpa ada nafkah yang menggerakkan roda perekonomiannya. Materi bagi
keluarga-keluarga muslim menjadi sarana pemenuhan tuntutan syariat, menjaga
‘iffah (kemuliaan diri) dari meminta-minta, serta sebagai pembatas agar tidak
dekat kepada kekafiran.
Islam mewajibkan bagi orang yang mampu untuk memberi
nafkah. Allah Ta’ala berfirman, “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya.” (Qs.
Ath-Thalaq 7).
Bahkan Rasul SAW mengingatkan dalam haditsnya: “Seseorang
itu cukup berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi belanja.” (HR.
Abu Daud dan lain-lain).
Tidak harus banyak, asalkan halal. Banyak sedikit sangat
relatif. Namun, kehalalan nafkah yang diberi, tidak bisa ditawar-tawar.
Mengabaikan kehalalan dapat berakibat sangat fatal bagi semua pribadi di dalam
keluarga: tidak diterima doa dan ibadahnya, mendorong berperilaku menyimpang,
menghalangi ketaatan hingga menjadi penyebab terlemparnya ke dalam Jahanam.
Mengabaikan kehalalan nafkah dapat berakibat sangat fatal
bagi semua pribadi di dalam keluarga: tidak diterima doa dan ibadahnya,
mendorong perilaku menyimpang, menghalangi ketaatan hingga jadi penyebab
terlemparnya ke dalam Jahanam.
Menenteramkan sungguh kalimat-kalimat yang mengalir dari
lisan istri-istri sahabat dan generasi salafus shalih setiap kali mengantarkan
suami-suami mereka yang hendak mengais rezeki: “Suamiku, bertakwallah kepada
Allah terhadap apa yang akan engkau nafkahkan kepada kami. berikanlah kepada
kami hanya nafkah yang halal. Karena perihnya kelaparan dapat kami tahan,
sementara panasnya neraka yang memanggang tak mungkin membuat kami dapat
bertahan.”
4.
Berbuat
Adil
Adil berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya. Lawan adil
adalah zalim. Dan ukuran yang paling tepat untuk menilai adil atau zalimnya
seseorang adalah Al-Qur’an. Karena hanya Al-Qur’an sajalah yang tidak
mengandung perselisihan di dalamnya. Sehingga tidak akan membuat siapa pun
bingung harus bersikap seperti apa. Berbeda sangat jauh dengan hukum/aturan apa
pun buatan manusia yang mudah diinterpretasikan sekehendak hatinya.
Adil tidak terbatas pada suami istri harus memenuhi setiap
kewajibannya sebagai suami terhadap istri maupun sebagai istri terhadap suami,
juga kewajiban keduanya terhadap anak-anak mereka. Akan tetapi adil, meliputi
pemenuhan terhadap semua perintah dan larangan Allah yang mengenai diri setiap
pribadi di dalam keluarga.
Suami yang adil adalah, yang taat kepada Allah,
melaksanakan tugas memimpin, menafkahi dan mendidik istri dan anak-nya. Istri
yang adil adalah yang memenuhi semua perintah Allah SWT dan
larangan-larangannya, taat, menjaga harta, kehormatan diri dan suaminya, dan
mengasuh secara baik anak-anaknya.
Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki hak atas
dirimu yang harus engkau tunaikan, dirimu memiliki hak yang harus engkau
tunaikan, dan keluargamu memiliki hak atas dirimu yang harus engkau tunaikan.
Maka tunaikanlah hak-hak masing-masing dari semua itu.” (HR. Bukhari).
Rasul SAW juga menyebutkan, bahwa ada tiga hal yang dapat
menyelamatkan. Di antara ketiga hal itu adalah: “Berbuat adil dalam keadaan
ridha (senang) maupun dalam keadaan benci”
Tidak seorang pun yang tidak memerlukan nasihat orang
lain. Suami, membutuhkan nasihat istrinya. Istri mengharapkan bimbingan
suaminya….
5.
Saling
Menasehati
Tidak seorang pun yang tidak memerlukan nasihat orang
lain. Suami, membutuhkan nasihat istrinya. Istri mengharapkan bimbingan
suaminya. Anak-anak merindukan untaian lembut nasihat kedua orang tuannya.
Orang tua, terkadang perlu mendengar pendapat anak-anaknya.
Ingat apa yang dilakukan Ibunda Khadijah terhadap
Rasulullah SAW sesaat setelah turun wahyu yang pertama? Ketika sekujur tubuh
Rasulullah SAW menggigil karena khawatir akan keselamatan dirinya, wanita agung
itu hadir dengan nasihat-nasihat yang menenteramkan jiwa. “Bergembiralah dan
tenteramkanlah hatimu. Demi Allah yang menguasai diriku”
“Allah SWT tidak akan mengecewakanmu. Engkau orang yang
sentiasa berusaha untuk menghubungkan tali persaudaraan, selalu berkata benar,
menyantuni anak yatim piatu, memuliakan tamu dan memberi bantuan kepada setiap
orang yang ditimpa kesusahan.”
Rasul SAW melukiskan kesannya yang mendalam: “Khadijah
beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika
orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika
orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan
mengharamkan bagiku anak dari selain dia” (HR. Imam Ahmad).
Nasihat (dengan ijin Allah), dapat membuat yang lupa
menjadi ingat. Yang tersesat kembali selamat. Dan yang lemah jadi bersemangat.
Demikian indah kiasan yang Allah berikan bagi pasangan
suami istri. Dalam surat Al-Baqarah 187 Allah menyebut: “Mereka (istri-istrimu)
itu adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka!”
Apa saja yang dilakukan oleh pemilik pakaian terhadap
pakaian kesayangannya? Tentu, bukan hanya memakai secara terus menerus sampai
pakaian tersebut usang, bau dan sobek sana sini. Orang yang bijak, selain
memakai ia pun akan berpikir untuk menjaga agar pakaiannya tidak koyak,
senantiasa dalam keadaan halus, harum dan wangi. Karenanya, setiap kali pakaiannya
itu kotor, ia akan memilihkan detergen yang terbaik untuk mencuci. Setelah
kering, pakaian itu akan diseterika dan diberi wewangian. Lalu, diletakkan di
tempat yang terbaik di dalam lemari.
Mereka akan selalu saling menasehati untuk menetapi kebenaran
dan kesabaran, sebagai wujud kasih sayang dan perhatian yang mendalam.
Maka, demikian pula yang seharusnya dilakukan seorang
suami/istri terhadap pasangannya. Ia akan selalu menjaga kebersihan jiwa dari
segala hal yang mengotorinya. Menghiasi dengan wangi akhlak yang terpuji. Dan
membentengi dari ancaman apa pun yang dapat merusakkan hati. Mereka akan selalu
saling menasehati untuk menetapi kebenaran dan kesabaran, sebagai wujud kasih
sayang dan perhatian yang mendalam. Sebelum segalanya terlambat, dan taubat pun
tiada lagi bermanfaat.
Semoga keluarga-keluarga kita menjadi keluarga yang mulia
dan dimuliakan. Dipenuhi cahaya iman dan ketakwaan. Dan ditaburi cinta yang tak
berkesudahan.
BErmanfaat infonya
BalasHapusArtikel dan informasi bermanfaat bagi keluarga
BalasHapus