A. Filosofi Penyelesaian Sengketa Dalam Masyarakat Hukum Adat
Hukum adat sebagai suatu sistem hukum memiliki pola tersendiri dalam menyelesaikan sengketa. Hukum memiliki karakter yang khas dan unik bila dibandingkan dengan system hukum lain. Hukum adat lahir dan tumbuh dari masyarakat, sehingga keberadaannya bersenyawa dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Hukum adat tersusun dan terbangun atas nilai, kaidah,dan norma yang disepakati dan diyakini kebenarannya oleh komunitas masyarakat adat.
Hukum adat Indonesia merupakan penjelmaan dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Hukum adat bersandar pada alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai system hukum barat atau system hokum lainnya. Soedarsono menyebutkan bahwa tata hukum adat Indonesia berbeda dengan tata hokum lainnya yang ada di Indonesia seperti tata hukum romawi yang dibawa colonial Belanda ke Indonesia (Barat), tata hokum Hindu India , dan tata hokum islam, dan berbagai tata hokum lainnya.
Penyelesaian sengketa dalam masyarakat hukum adat didasarkan pada pandangan hidup yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pandangan hidup atau lebensaacbuung, adalah suatu pandangan objektif dari orang-orang yang ada di dalam masyarakat mengenai apa dan bagaimana dunia dan hidup itu. Koesnoe, menyebutkan bahwa pandangan hidup masyarakat adat tertumpu pada filsafat eksistensi manusia. Pandangan hidup masyarakat adat yang berasal dari nilai,pola pikir,dan norma telah melahirkan ciri masyarakat hokum adat. Imam sudiyat, menyebutkan masyarakat hokum adat memiliki ciri religious, komunal, demokrasi, mementingkan nilai moral spiritual, dan bersahaja/sederhana.
Tradisi penyelesaian sengketa dalam masyarakat hokum adat cenderung menggunakan ‘pola adat’ atau dalam istilah lain sering disebut pola ‘kekeluargaan’. Pola ini diterapkan bukan hanya untuk sengketa perdata tetapi juga pidana. Penyelesaian sengketa dalam pola adat, bukan berarti tidak ada kompensasi atau hukuman apa pun terhadap pelanggar hukum adat.
B. Ruang Lingkup Mediasi Dalam Hukum Adat
Masyarakat hukum adat lebih mengutamakan penyelesaian sengketa melalui jalur musyawarah, yang bertujuan untuk mewujudkan kedamaian dalam masyarakat. Jalur musyawarah merupakan jalur utama yang digunakan masyarakat hokum adat dalam menyelesaikan sengketa, karena dalam musyawarah akan dapat dibuat kesepakatan damai yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam system hukum adat, tidak dikenal pembagian hokum kepada hokum public dan hokum privat. Akibatnya, masyarakat hokum adat tidak mengenal kategorisasi hokum pidana dan hokum perdata, sebagaimana dalam system hokum Eropa Kontinental. Istilah “sengketa” bagi masyarakat hokum adat bukan hanya ditujukan untuk kasus perdata, yang menitikberatkan pada kepentingan perorangan, tetapi sengketa juga digunakan untuk tindak pidana kejahatan atau pelanggaran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup mediasi dalam masyarakat hokum adat, tidak hanya terbatas pada sengketa ranah privat, tetapi dapat juga digunakan untuk menyelesaikan kasus public. Penggunaan mediasi, arbitrase, negosiasi dan fasilitasi jauh lebih luas dalam hokum adat, bila dibandingkan dengan hokum positif di Indonesia.
C. Pola mediasi dalam hokum adat : Model Aceh
Masyarakat Aceh memiliki pola tersendiri dalam penyelesaian konflik (sengketa), baik konflik vertical maupun horizontal. Pola penyelesaian konflik dalam masyarakat Aceh dikenal dengan pola penyelesaian adat gampong. Pola ini sebenarnya berasal dari syariat islam yang bersumber pada ajaran Al-Qur’an dan as-Sunnah. Pegangan suci umat islam ini, mengajarkan model dan cara penyelesaiaan konflik, baik dalam rumah tangga, antar individu di luar rumah tangga, antar masyarakat, bahkan antar Negara.
Cara dan pola penyelesaian konflik yang berasal dari syariat islam diterjemahkan oleh masyarakat Aceh dalam bingkai adat, sehingga tampak adanya pergeseran secara tekstual antara yang tertulis dalam doktrin syariah, dengan apa yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Kenyataan ini bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan syariat, akan tetapi meweujudkan makna syariat melalui perangkat dan institusi adat dan budaya.
Pola penyelesaiaan konflik yang dipraktikkan turun temurun oleh masyarakat Aceh terdiri dari pola di’iet, sayam, suloh, dan peumat jaroe. Pola-pola ini sudah dikenal sejak awal, terutama ketika Islam menginjak kakinya ke Nusantara, dan bahkan institusi sayam, jauh lebih dahulu dikenal dalam masyarakat aceh bila dibandingkan dengan institusi di’iet dan suloh.
Asal usul di’iet, suloh dan peumat jaroe berasal dari tradisi dan ajaran Islam, sehingga pola ini langsung dikenal oleh masyarakat Aceh ketika Islam disebarkan pertama kali ke Nusantara. Institusi sayam berasal dari tradisi Hindu, sehingga sebelum Islam datang pola ini telah dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat Aceh. Ajaran dan tradisi Hindu tentang sayam, sebenarnya tidak murni lagi ajaran Hindu, namun sudah disaring (filter) oleh syariat islam. Oleh karenanya, praktik sayam sebagai model penyelesaiaan konflik dalam masyarakat Aceh, bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan syariat islam.
• Di’iet
Kata di’iet berasal dari istilah Arab, yaitu diyat. Secara bahasa, kata diyat bermakna pengganti jiwa atau pengganti anggota tubuh yang hilang atu rusak. Pengganti ini merupakan harta, baik bergerak maupun tidak bergerak. Diyat merupakan konsep yang terdapat dalam hokum pidana Islam. Para sarjana hokum Islam memahami diyat sebagai bentuk kompensasi atau ganti rugi yang diserahkan oleh pelaku pidana atau keluarganya, kepada korban atau keluarga korban (ahli warisnya) dalam tidak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap anggota tubuh.
• Sayam
Sayam adalah salah satu pola penyelesaian konflik yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Pola ini telah lama dipraktikkan dan bahkan jauh lebih lama dari pola di’iet dan suloh. Sayam adalah bentuk kompensasi berupa harta yang diberikan oleh pelaku pidana terhadap korban atau ahli waris korban, khusus berkaitan dengan rusak atau tidak berfungsinya anggota tubuh. Bahkan sebagian daerah di Aceh memperlakukan sayam ini sebagai kompensasi dari keluarnya darah seseorang akibat penganiayaan.
• Suloh
Kata suloh dalam bahasa Aceh berasal dari istilah Arab, yaitu al-shulhu atau ishlah, yang berarti upaya perdamaian. Suloh adalah upaya perdamaian antar para pihak yang bersengketa. Dalam tradisi penyelesaian konflik, masyarakat aceh menggunakan suloh sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan social, akibat adanya sengketa atau konflik. Suloh lebih diarahkan pada upaya perdamaian diluar kasus-kasus pidana. Ia ditujukan untuk menyelesaikan kasus perdata dan kasus-kasus yang tidak melukai anggota tubuh manusia.
• Peumat jaroe
Bentuk aktivitas adat dan budaya yang melekat pada di’iet, sayam dan suloh adalah peusijuek dan peumat jaroe (saling berjabat tangan). Kedua institusi ini dianggap memegang peran penting dalam menjalin rasa persaudaraan (ukhuwah) antara para pihak yang bersengketa. Masyarakat Aceh menganggap belum sempurnanya penyelesaian konflik tanpa ada prosesi peusijuek dan peumat jaroe. Prosesi peusijuek sudah dijelaskan sebelumnya yang digunakan untuk semua perkara baik perdata atau pidana. Peusijuek juga dilaksanakan bukan hanya untuk menyelesaikan konflik, tetapi juga menyatakan rasa syukurpun biasanya diwujudkan dengan peusijuek dalam masyarakat Aceh.
Setelah acara peusijuek selesai, maka dilanjutkan dengan peumat jaroe antara pihak yang bersengketa. Kegiatan ini dilakukan (difasilitasi), oleh keuchik, teungku imuem, dan tetua adat. Peumat jaroe merupakan symbol perbaikan hubungan antara para pihak yang bersengketa, dengan harapan konflik antar mereka dapat segera berakhir.
D. Proses Mediasi Dalam Hukum Adat
Proses mediasi yang digunakan masyarakat hukum adat pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan proses mediasi yang dikembangkan pada era modern. Secara garis besar proses mediasi dalam hokum adat dapat dikemukakan seperti dibawah ini.
Pertama, para pihak yang bersengketa dapat meminta bantuan kepada pihak ketiga (mediator) untuk menyelesaikan sengketa mereka. Mediator yang dipercayakan oleh para pihak, umumnya adalah tokoh adat atau tokoh ulama.
Kedua, para pihak yang memberikan kepercayaan kepada tokoh adat sebagai mediator didasarkan pada kepercayaan bahwa mereka adalah orang yang memiliki wibawa, dihormati, disegani, dipatuhi perkataannya dan mereka adalah orang-orang yang mampu menutup rapat-rapat rahasia di balik persengketaan yang terjadi di antara para pihak.
Ketiga, tokoh adat yang mendapat kepercayaan sebagai mediator melakukan pendekatan-pendekatan yang menggunakan bahasa agama dan bahasa adat, agar para pihak yang bersengketa dapat duduk bersama, menceritakan latar belakang, penyebab sengketa, dan kemungkinan-kemungkinan mencari jalan keluar untuk mengakhiri sengketa.
Keempat, tokoh adat sebagai mediator dapat melakukan sejumlah pertemuan termasuk pertemuan terpisah jika dianggap perlu, atau melibatkan tokoh adat yang lain yang independen setelah mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk membantu mempercepat proses mediasi, sehingga kesepakatan-kesepakatan dapat cepat tercapai.
Kelima, bila para pihak sudah mengarah untuk menawarkan alternative penyelesaian, maka mediator dapat memperkuat dengan menggunankan bahasa agama dan bahasa adat, agar kesepakatan damai dapat terwujud. Bila kedua belah pihak bersepakatan untuk berdamai dengan sejumlah tuntutan masing-masing yang mungkin dipenuhi,maka mediator dapat mengusulkan untuk menyusun pernyataan damai di depan para tokoh adat dan kerabat dari kedua belah pihak.
Keenam, bila kesediaan ini sudah dikemukakan kepada mediator, maka tokoh adat tersebut dapat mengadakan prosesi adat, sebagai bentuk akhir dari pernyataan mengakhiri sengketa dengan mediasi melalui jalur adat. Dengan demikian, maka berakhirlah proses mediasi dalam masyarakat hokum adat.
E. Pelaksanaan hasil mediasi dan sanksi adat
Pelaksanaan hasil mediasi dalam praktik masyarakat adat, bukan hanya semata-mata menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa, tetapi juga terlibat para tokoh adat yang telah bertindak sebagai mediator. Pada sisi lain keluarga besar para pihak yang bersengketa, dapat juga menjadi pendorong bagi memudahkan realisasi kesepakatan mediasi. Keluarga besar para pihak akan malu, bila diketahui oleh masyarakat bahwa mereka adalah penghambat dari mulusnya pelaksanaan hasil mediasi. Oleh karena itu, control masyarakat menjadi amat penting dalam pelaksanaan hasil mediasi. Hal ini dapat mengingatkan kembali bahwa masyarakat dapat melakukan intervensi, jika hasil mediasi tidak dilaksanakan dengan baik.
Dalam masyarakat hokum adat,jika kesepakatan damai para pihak sudah diikrarkan dihadapan tokoh adat, apalagi dilakukan pada suatu upacara adat, maka kesepakatan tersebut harus dilaksanakan dengan segera. Bila salah satu pihak mengingkari atau tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut akan mendapatkan sanksi adat dari masyarakat hokum adat. Sanksi ini sangat tergantung pada sejauh mana tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan juga tergantung pada dampak yang ditimbulkan oleh pengingkaran tersebut kepada nilai-nilai social dalam masyarakat hokum adat. Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pihak yang tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi dapat berupa pengucilan dari kegiatan social, dan bahkan sampai kepada pengusiran dari komunitas hokum adat. Penjatuhan sanksi kepada para pihak tidak dilakukan secara serta-merta, tetapi dilakukan setelah proses negosiasi guna merealisasikan hasil mediasi yang dilakukan oleh tokoh adat.
{ 0 Comment... Skip ke Kotak Komentar }
Tambahkan Komentar Anda